Subscribe:

Rabu, 04 Januari 2012

Secuil Renungan di Dua Tetes Air Hujan


Keliatannya gak jadi. Ujan sih,” pesan singkat yang gue kirim untuk dia yang menunggu gue agar segera datang kerumahnya. Gue tunggu balasan dari dia beberapa saat, gak dibales. Beberapa menit gak juga dibales. Dan makin lama gue gak tahan dengan apa yang gue tunggu akhirnya gue sms dia lagi, “Uh, gak ujan. Gue kesana ya!” Lalu gak perlu menunggu lama sebuah pesan meluncur ke henpon gue dengan kecepatan membalikan tangan,”Oke, jam berapa?” Ya, itu pesan balasan dari dia.
Setelah beberapa lama bernegosiasi (sebenernya gak penting juga untuk masuk sebagai kategori kegiatan bernegosiasi ) tentang kapan gue meluncur kesana, akhirnya dia setuju bahwa gue datang kerumahnya setelah menuruti rengekan perut gue yang udah daritadi jerit-jerit minta dikasih makan detergen. Gue bergegas makan, setelah itu gue beranjak menuju kamar mandi untuk berbenah diri. Cuci muka, sikat gigi, dan . . . udah itu aja. Ya begitulah langkah simple gue untuk mengurangi kadar kejelekan dalam waktu lima menit.
Tiii Tit! Henpon gue berbunyi. Gue ambil henpon tersebut dan lagi-lagi ada pesan singkat dari dia. Dia bertanya apakah gue udah berangkat atau belum? Nampaknya dia lagi rindu gak ketulungan sama gue deh.  #pedeitupenting!
Tanpa gue balas sms itu gue segera berangkat menuju rumahnya. Gue kebut kayuhan sepeda gue dengan harapan akan lebih cepat sampai menuju rumahnya. Kadang gue berfikir alangkah cihuy-nya jika saja gue pergi kemana-mana mengendarai sepeda motor atau bahkan mobil, waktu mungkin gak akan jadi masalah untuk kota Klaten yang jarang-jarang macet seperti kota Jakarta. Tapi gue harus kembali sadar bahwa gue memiliki kemampuan yang buruk dalam mengendarai kendaraan-kendaraan tersebut dan gue juga harus ingat bahwa orang tua gue belum mampu membelikan salah satu benda itu.
Gue memandangi langit untuk membuang jauh-jauh keinginan itu. Setelah gue yakin semuanya sudah terbuang ke langit, tiba-tiba mendung datang dengan jumawa dan sesekali langit membentak gue dengan cipratan listrik yang mahadasyat kuatnya. Gue mengernyitkan mata. Ada rasa sedikit kecewa dalam benak gue. Bukan karena gue  telah membuang semua angan gue tadi hingga membuat langit marah, tapi karena tiba-tiba dengan sangat terencana bertambahlah aktivitas langit yang cukup menyebalkan . . . hujan. Sial, baju polo shirt buluk gue, celana jeans kedodoran gue, sandal crocks kotor gue, dan sepeda gue, basah semua. Gue bakal datang kerumah dia dengan penampilan compang-camping nih. Yaampun.
Gue makin mempercepat kayuhan sepeda. Dengan nafas yang tersengal-sengal pikiran gue secara ajaib membaur bersama tetes-tetes hujan yang melesat ke bumi. Gue tahu hujan kali ini gak akan berlangsung lama ,tapi karena hujan inilah kenangan yang sudah lama gue bius akhirnya bangun dan memberontak batin gue. Kayuhan gue tiba-tiba melambat. Gue melamun dan membiarkan kenangan-kenangan itu bermain di kepala gue.
Tetesan air hujan pertama. Dengan efek fade-in ( seperti pada film ) munculah kenangan gue tiga tahun yang lalu. Ketika itu gue sedang mengirim pesan pada ‘dia yang lain’ tentang keadaan gue yang basah kuyup karena hujan,”Sha. Sial, aku kehujanan nih. Mana kejebak di masjid.
Lalu dengan cepat gue mendapat balasan dari dia,”Ih, hujan? Asik, aku pengen hujan-hujan!” Gue sangka dia bakal khawatir dengan keadaan gue, tapi ternyata dia justru pengen hujan-hujan. Ah agak jleb di hati sih sebenarnya. Tapi karena gue lebih memilih untuk mengendalikan ego yang ingin sedikit mendapat perhatiannya dan memilih untuk lebih memperhatikan keadaannya, sambil mengusap muka yang basah gue membalas pesan dia,”Jangan. Nanti kamu sakit lagi.
Tapi mungkin karena gue kurang ahli dalam memberi pengertian kepada seseorang, alhasil dia tetap berniat hujan-hujanan. Dia berkata bahwa hujan itu menyenangkan. Gue gak ngerti bagian mana yang membuat hujan terasa menyenangkan. Menurut gue kalo kena hujan ya rasanya basah. Mungkin gue orang yang gak sensitif terhadap hal-hal puitis seperti itu. Hujan masih deras, gue mencoba untuk sedikit nekat melawan gerombolan tetesan air itu. Mungkin ini kesempatan gue untuk mendapatkan jawaban dari rasa penasaran pada hujan yang menyenangkan.
Akhirnya setelah sampai di tempat tujuan gue mendapat satu jawaban yang cukup spesial dari hujan : gue basah!
Beberapa bulan berlalu setelah rasa penasaran pada hujan itu gue pendam dalam-dalam. Turun hujan lagi. Kali ini bukan di kota Kelahiran gue, bukan juga di Negara tempat tinggal gue, tapi hujan kali ini sedang deras di dalam hati gue. Hubungan yang semula seperti mangga matang yang gak dipetik-petik dari pohonnya, akhirnya terpetik juga. Tapi lagi-lagi harapan gue meleset. Hubungan yang udah lama ngegantung itu telah gue petik sendiri dengan hati yang remuk redam, bukan dipetik oleh ‘dia yang lain’ dengan rasa cinta yang sebanding.
Gue merenung di samping ember kamar mandi. Bagaimana bisa gue sebodoh itu mengira bahwa ‘dia yang lain’ juga memiliki perasaan yang sama terhadap gue hanya karena dia pernah sesekali mengungkapkan rasa sayangnya lewat pesan singkat? Bisa saja dia adalah cewek PHP ( pemberi harapan palsu ), kenapa gue baru menyadarinya? Ah, mungkin inilah cinta. Terkadang cinta bisa saja menjelma menjadi kotoran yang gak cukup dengan kain lap untuk membersihkannya. Kadang kita memang butuh hujan yang deras untuk membersihkannya dari hati kita.
Move on lah satu-satunya jalan. Karena cinta seseorang memang gak bisa dipaksakan. Tapi itu gak semudah seperti gue mencintainya dulu. Butuh proses dan gue perlu memilih salah satu dari dua pilihan yang ada dalam aturan move on. Pertama, gue bertahan pada hujan deras agar semua rasa cinta gue lekas luntur. Kedua, mencari seseorang yang lebih baik untuk menciptakan kenangan indah yang lain. Akhirnya dengan rasa bingung dan kalut yang tak terkendali, gue memilih opsi pertama. Ya, mungkin untuk menghapus rasa cinta itu gue butuh kesedihan dan perenungan yang cukup lama.
 ******************************************************************************
Tetesan air hujan yang kesekian kalinya. Pikiran gue kembali tersadar. Satu tetes air hujan tadi sudah cukup membuat gue yakin untuk pergi dari hujan deras itu. Dan menghentikan hujan tersebut dengan remote yang disebut kedewasaan. Tiga tahun itu waktu yang cukup lama untuk main hujan-hujanan. Sudah waktunya gue ambil handuk dan merapikan diri untuk menyambut ‘dia yang baru.’
Ya, ‘dia yang baru’ adalah seseorang yang akan gue temui saat ini. Malaikat yang telah memberi gue sesuatu yang berharga, yaitu kebahagiaan. Mungkin sesuatu itu harus gue jaga, oh salah seharusnya sesuatu itu gue gandakan dengan mesin fotocopy agar kebahagiaan itu dapat gue bagi rata dengan dia.
Gue harus berterima kasih kepadanya karena telah memberi kesempatan kepada gue untuk mencintainya. Gue juga harus berterima kasih karena dia mau menerima gue apa adanya. Mungkin gue manusia yang penuh dengan bejibun kelemahan, tapi dengannya gue berharap bisa menjadi sempurna.
Sekarang gue gak perlu lagi berfikir bagaimana cara gue bahagia dengan seseorang yang gue cintai. Tapi bagaimana cara gue membuat seseorang yang gue cintai itu bahagia. Gue akan mencoba untuk menjauhkan dia dari biru yang sendu dan membuatnya berlari bersama jingga yang unyu.
Ah udah sampe rumahnya nih. Gue basah kuyup. Mirip tupai yang abis kecemplung got. Oke, kini gue berada di beranda rumahnya. Waktunya berdoa agar gak disangka pemulung dan . . . ketuk pintu ucapkan Assalamualaikum Nyil!

0 komentar:

Mari Dikomeng