Subscribe:

Senin, 09 Januari 2012

Hensemless, why not?

Gue ganteng? Mungkin suatu pernyataan gila yang mungkin juga dinyatakan orang-orang gila di sekeliling gue. Lebih tepatnya orang gila buta kali ya, karena dilihat dari segi manapun gue bukanlah tipe cowok yang ganteng. Tapi beruntunglah gue adalah satu-satunya anak lelaki dirumah, jadi secara otomatis ( baca : terpaksa ) gue adalah anak paling ganteng diantara adek-adek gue yang lain. Dan setidaknya gue cukup menikmati hari-hari di rumah. Ibu gue-lah yang paling sering mengakui kegantengan gue, ( ya, pengecualian untuk ibu gue. Dia-lah satu-satunya orang paling waras dan superbaikhati di antara orang-orang yang menyebut gue ganteng). Meskipun gue gak tahu alasan ibu menganggap gue seperti itu. Setiap kali ibu bilang,”udah pede aja, kamu itu ganteng”, gue cuma bisa bengong dan berbicara dalam hati, “ibu habis bangun tidur ya?” atau, “kelihatannya lagi gak mati lampu deh, tapi kok?”

Dan sebagai cowok yang berpredikat ‘hensemless’ sudah sewajarnya jika gue membenci cowok-cowok boyband. Kenapa? Mungkin aja sebagian cewek akan menjawab begini ( dengan cara bicara anak gahoel ),”Yaiyalah, cowok-cowok boyband kan ganteng gelaak, nah elo?” Tapi, akan berbeda jika kita, kaum cowok cupu yang menjawab,“Gara-gara baybond presentase peluang kita ditaksir cewek makin anjlok!” Ingat, ini bukan cuma jeritan hati gue aja, tapi ini adalah jeritan hati kami para cowok yang terlambat ganteng. *dihajar rame-rame*

Tapi gue cukup tau diri untuk tidak melawan kekuatan orang ganteng secara sembrono. Ya, pernah suatu ketika, saat gue baru aja lulus SD dan sedang mendaftar ke sebuah SMP Negeri di kota tempat tinggal tercinta, Klaten, gue dan teman gue buru-buru ke tempat fotocopy-an untuk meng-copy ijazah SD buat keperluan pendaftaran. Kita berdua berangkat naik sepeda masing-masing mirip pasangan homo yang lagi pacaran. Sesampainya disana, gue langsung ngasih ijazah kami berdua kepada mbak penjaga tempat fotocopy-an itu. Lalu mbak penjaga itu menerima, dan sebelum sempat ijazah kami tersebut dimasukkan ke dalam mesin fotocopy, mbak penjaga tersebut dengan iseng dan jahatnya membaca ijazah kami berdua. Mungkin bagi temen gue itu bukan tindakan yang iseng dan jahat, mungkin biasa-biasa aja. Tapi bagi gue ini benar-benar menakutkan, kenapa? Kalian pasti tahu kan, pada bagian depan ijazah di bawah ada selembar kertas tebel kan, licin kertasnya kan, nempel gitu kan, ada gambar muka orang gitu kan, ya itu masalahnya FOTO SETENGAH BADAN GUE!  MUKA GUE!  Gue berusaha untuk mengalihkan mbak penjaga sebelum dia ngelihat foto kami berdua,”mbak tolong dong cepetan di fotocopy, keburu nih

“Tunggu bentar dik.” Sambil menuju ke mesin fotocopy mbak penjaga meng-iya-kan permintaan gue.

Huft, sedikit lega rasanya. Tapi emang dasar keberuntungan belum berpihak kepada orang jelek. Setelah selesai meng-copy, mbak penjaga tadi justru melanjutkan membaca ijazah-ijazah tersebut. Lalu sambil mengembalikan ijazah ke arah temen gue dia bilang,”adek yang ini ganteng deh.” Dan saat giliran ijazah gue yang dikembalikan dia bilang, “adek yang ini kok item ya?” Jeger! ( berasa seperti habis keselek tabung gas tiga kilo ). Baru pertama kali itu gue diperlakukan layaknya combro oleh orang yang belum gue kenal. Masih mending kalau mbak penjaga tersebut adalah Dian Sastro kw super, lah ini malah mirip mpok nori yang kebanyakan ngemil sabun colek. Dan gue diperlakukan seperti itu di wilayah jual beli yang seharusnya menganut prinsip ‘Pembeli adalah Raja.’ Tapi apa? Yang ada disini malah ‘Pembeli jelek adalah Combro.’

Gue sebenarnya cukup sebal dengan perkataan mbak penjaga itu tapi seperti yang gue bilang tadi, gue cukup tau diri untuk tidak melawan kekuatan orang ganteng. Sebab sekarang gue telah berhadapan dengan kekuatan itu. Penilaian subyektif antara muka Dude Herlino dengan muka Dude Herlino yang habis ikut tawuran inilah yang gue maksud. Kekuatan yang berasal dari publik. Opini yang bersifat positif serta bejibun pujian dari publik yang hanya bisa didapatkan orang ganteng bukan orang yang kurang ganteng. Disitulah gue merasa kalah telak.

Tapi apakah orang yang terlambat ganteng gak punya kelebihan? ( bukan kelebihan upil, ingus, atau belek dimuka, yang gue maksud kira-kira ya seperti kemampuan gitu lah). Kelebihan yang mungkin aja sebanding dengan yang dimiliki oleh orang ganteng. Gue rasa punya. Tuhan memberi kita kelebihan dan kekurangan. Dan Tuhan gak pernah meluputkan satu orangpun dalam pembagian kelebihan atau kekurangan itu. Jika kita emang lemah dalam hal fisik dan penampilan pasti ada hal lain yang menjadi kelebihan kita. Tapi tentu saja hal itu gak bisa kita raih hanya dalam waktu satu malam seperti membangun candi ( ya, candi Prambanan dibuat dalam semalam lho kakaak ). Sebab ada proses yang perlu dijalani untuk meraihnya, ada usaha yang harus disiapkan untuk menjalani proses itu, dan ada beberapa kunci yang dibutuhkan untuk membuka pintu-pintu yang menjadi penghubung antara proses dengan kesuksesan. Kalian butuh kunci-kunci itu. Dan gue punya lima. Jadi daripada kalian bingung kenapa gue tiba-tiba jadi seperti motivator sinting gini, mending perhatikan dan coba pakai kunci-kunci ini deh ke dalam usaha kalian, enjoy . .

Rabu, 04 Januari 2012

Secuil Renungan di Dua Tetes Air Hujan


Keliatannya gak jadi. Ujan sih,” pesan singkat yang gue kirim untuk dia yang menunggu gue agar segera datang kerumahnya. Gue tunggu balasan dari dia beberapa saat, gak dibales. Beberapa menit gak juga dibales. Dan makin lama gue gak tahan dengan apa yang gue tunggu akhirnya gue sms dia lagi, “Uh, gak ujan. Gue kesana ya!” Lalu gak perlu menunggu lama sebuah pesan meluncur ke henpon gue dengan kecepatan membalikan tangan,”Oke, jam berapa?” Ya, itu pesan balasan dari dia.
Setelah beberapa lama bernegosiasi (sebenernya gak penting juga untuk masuk sebagai kategori kegiatan bernegosiasi ) tentang kapan gue meluncur kesana, akhirnya dia setuju bahwa gue datang kerumahnya setelah menuruti rengekan perut gue yang udah daritadi jerit-jerit minta dikasih makan detergen. Gue bergegas makan, setelah itu gue beranjak menuju kamar mandi untuk berbenah diri. Cuci muka, sikat gigi, dan . . . udah itu aja. Ya begitulah langkah simple gue untuk mengurangi kadar kejelekan dalam waktu lima menit.
Tiii Tit! Henpon gue berbunyi. Gue ambil henpon tersebut dan lagi-lagi ada pesan singkat dari dia. Dia bertanya apakah gue udah berangkat atau belum? Nampaknya dia lagi rindu gak ketulungan sama gue deh.  #pedeitupenting!
Tanpa gue balas sms itu gue segera berangkat menuju rumahnya. Gue kebut kayuhan sepeda gue dengan harapan akan lebih cepat sampai menuju rumahnya. Kadang gue berfikir alangkah cihuy-nya jika saja gue pergi kemana-mana mengendarai sepeda motor atau bahkan mobil, waktu mungkin gak akan jadi masalah untuk kota Klaten yang jarang-jarang macet seperti kota Jakarta. Tapi gue harus kembali sadar bahwa gue memiliki kemampuan yang buruk dalam mengendarai kendaraan-kendaraan tersebut dan gue juga harus ingat bahwa orang tua gue belum mampu membelikan salah satu benda itu.
Gue memandangi langit untuk membuang jauh-jauh keinginan itu. Setelah gue yakin semuanya sudah terbuang ke langit, tiba-tiba mendung datang dengan jumawa dan sesekali langit membentak gue dengan cipratan listrik yang mahadasyat kuatnya. Gue mengernyitkan mata. Ada rasa sedikit kecewa dalam benak gue. Bukan karena gue  telah membuang semua angan gue tadi hingga membuat langit marah, tapi karena tiba-tiba dengan sangat terencana bertambahlah aktivitas langit yang cukup menyebalkan . . . hujan. Sial, baju polo shirt buluk gue, celana jeans kedodoran gue, sandal crocks kotor gue, dan sepeda gue, basah semua. Gue bakal datang kerumah dia dengan penampilan compang-camping nih. Yaampun.
Gue makin mempercepat kayuhan sepeda. Dengan nafas yang tersengal-sengal pikiran gue secara ajaib membaur bersama tetes-tetes hujan yang melesat ke bumi. Gue tahu hujan kali ini gak akan berlangsung lama ,tapi karena hujan inilah kenangan yang sudah lama gue bius akhirnya bangun dan memberontak batin gue. Kayuhan gue tiba-tiba melambat. Gue melamun dan membiarkan kenangan-kenangan itu bermain di kepala gue.
Tetesan air hujan pertama. Dengan efek fade-in ( seperti pada film ) munculah kenangan gue tiga tahun yang lalu. Ketika itu gue sedang mengirim pesan pada ‘dia yang lain’ tentang keadaan gue yang basah kuyup karena hujan,”Sha. Sial, aku kehujanan nih. Mana kejebak di masjid.
Lalu dengan cepat gue mendapat balasan dari dia,”Ih, hujan? Asik, aku pengen hujan-hujan!” Gue sangka dia bakal khawatir dengan keadaan gue, tapi ternyata dia justru pengen hujan-hujan. Ah agak jleb di hati sih sebenarnya. Tapi karena gue lebih memilih untuk mengendalikan ego yang ingin sedikit mendapat perhatiannya dan memilih untuk lebih memperhatikan keadaannya, sambil mengusap muka yang basah gue membalas pesan dia,”Jangan. Nanti kamu sakit lagi.
Tapi mungkin karena gue kurang ahli dalam memberi pengertian kepada seseorang, alhasil dia tetap berniat hujan-hujanan. Dia berkata bahwa hujan itu menyenangkan. Gue gak ngerti bagian mana yang membuat hujan terasa menyenangkan. Menurut gue kalo kena hujan ya rasanya basah. Mungkin gue orang yang gak sensitif terhadap hal-hal puitis seperti itu. Hujan masih deras, gue mencoba untuk sedikit nekat melawan gerombolan tetesan air itu. Mungkin ini kesempatan gue untuk mendapatkan jawaban dari rasa penasaran pada hujan yang menyenangkan.
Akhirnya setelah sampai di tempat tujuan gue mendapat satu jawaban yang cukup spesial dari hujan : gue basah!
Beberapa bulan berlalu setelah rasa penasaran pada hujan itu gue pendam dalam-dalam. Turun hujan lagi. Kali ini bukan di kota Kelahiran gue, bukan juga di Negara tempat tinggal gue, tapi hujan kali ini sedang deras di dalam hati gue. Hubungan yang semula seperti mangga matang yang gak dipetik-petik dari pohonnya, akhirnya terpetik juga. Tapi lagi-lagi harapan gue meleset. Hubungan yang udah lama ngegantung itu telah gue petik sendiri dengan hati yang remuk redam, bukan dipetik oleh ‘dia yang lain’ dengan rasa cinta yang sebanding.
Gue merenung di samping ember kamar mandi. Bagaimana bisa gue sebodoh itu mengira bahwa ‘dia yang lain’ juga memiliki perasaan yang sama terhadap gue hanya karena dia pernah sesekali mengungkapkan rasa sayangnya lewat pesan singkat? Bisa saja dia adalah cewek PHP ( pemberi harapan palsu ), kenapa gue baru menyadarinya? Ah, mungkin inilah cinta. Terkadang cinta bisa saja menjelma menjadi kotoran yang gak cukup dengan kain lap untuk membersihkannya. Kadang kita memang butuh hujan yang deras untuk membersihkannya dari hati kita.