Subscribe:

Kamis, 07 Juni 2012

COLOUR ( STORY 01 )

Diterangi lampu taman, di bawah pohon pinus, dan di atas bangku


“Hei, Jean, ayo pulang!” Teriak bocah pirang berpakaian kumal sambil melangkah pelan meninggalkan seorang gadis yang sedang termangu melihat matahari terbenam.

“Karel, tunggu!” Gadis itu berlari menyusul,”lihat dulu mataharinya!”

Bocah pirang itu berhenti, lalu menengok kebelakang,”ayolah, telingaku sedang tidak mau mendengar ocehannya, Jean.”
Gadis itu mengangguk sambil cemberut.

***

Karel dan Jean. Dua bocah yang sejak umur empat tahun menjadi pengemis di daerah perkotaan Child Root. Kota yang sangat sibuk dengan jutaan pejalan kaki setiap harinya, entah penduduk asli atau hanya pendatang. Meskipun adalah kota yang sibuk, Child Root bukanlah kota yang berpolusi, justru kota ini sangat bersih dan sangat nyaman untuk dijadikan tempat tinggal.


Karel adalah seorang bocah laki-laki yatim piatu. Ketika ia masih berumur dua tahun, kedua orang tuanya meninggal dalam kasus perampokan. Mereka tertembak oleh segerombolan perambok ketika hendak membebaskan Karel dari penyekapan. Dan Jean, dia adalah seorang gadis yang dibuang oleh orang tuannya saat masih bayi. Mereka berdua lalu ditemukan oleh seorang wanita dan pada akhirnya dibesarkan sampai saat ini. Layaknya dongeng Cinderella, wanita tersebut tidak memperlakukan mereka sebagai anak.

“Karel, lihatkah kau tadi? Matahari terbenam yang terhalangi pohon pinus?” tanya Jean.

“Ya,” jawab Karel tanpa memandang wajah Jean.”Ingin kugambarkan lagi?”

“Tentu saja!” jawab Jean riang.

“Lihat malam nanti, jika wanita gila itu mengamuk lagi mungkin aku akan menggambarnya besok.”

Jean berubah murung ketika mendengar kata wanita gila. Karel tetap melanjutkan jalannya sambil sibuk menghitung sesuatu.

“Hah?!” Karel berhenti berjalan dan memandang kaleng tempatnya menyimpan uang hasil mengamen.”Jean . . . kita berhenti di sini. Akan kugambarkan sekarang.”

“Kenapa? Bukankah kau sedang malas dengan omelan Wena?”

“Tidak ada gunanya pulang sekarang,” Karel menunjukkan kaleng yang dibawanya kepada Jean.”Hanya segini, Jean. Hanya lima belas Lupin. Pulang sekarang pun telingaku tetap akan sakit.”

Lupin adalah mata uang yang berlaku di kota Child Root.

“Baiklah. Kita duduk di sana saja.” Jean menarik lengan Karel dan mengajaknya menuju kursi taman yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Jadi bagaimana pemandangan yang kau lihat tadi? Aku tidak sepenuhnya ingat.”

“Hmm,” Jean membenarkan posisi duduknya, lalu mendongakkan kepala dan memejamkan matanya, dia berusaha mengingat sesuatu yang sebelumnya dia lihat.”Matahari yang terbenam, hanya tampak seperempatnya, pada sisi kiri pandangan mataharinya terhalangi oleh pohon pinus, dan. . . tampak siluetku yang membelakangi Kamera.”

“Lagi-lagi kau menghayal, Jean.”

Kamera? Benar, sejak umur lima tahun Jean telah terobsesi oleh kamera. Lebih tepatnya ketika ia melihat seorang kakek tua di pinggiran sungai Near yang sedang sibuk dengan benda itu. Saat itu, Jean heran dengan apa yang sedang dilakukan kakek tersebut, dia bertanya kepada Karel apa yang sebenarnya kakek itu lakukan.

Pagi itu, tiga tahun yang lalu,  di atas jembatan sungai Near.

“Tunggu sebentar,” Jean menarik tangan Karel dan memintannya berhenti. “Lihat di pinggir sungai, sedang apa kakek itu, Rel? Kenapa kotak pensilnya ditempelkan ke wajahnya?”

Karel menengok ke pinggir sungai. Dia bingung dengan pertanyaan Jean. Mana kotak pensilnya? Beberapa saat kemudian Karel tertawa dan mengacak-acak rambut Jean. “Hahaha, itu bukan kotak pensil Jean, tapi kamera.”

Sekarang giliran Jean yang bingung,”kamera?”

“Ya, kamera. Yang pernah kudengar, itu adalah alat yang digunakan seseorang untuk menjiplak sesuatu yang kita lihat.”

Jean menggaruk-garuk kepala. Jelas dia belum paham.

“Lihatlah burung-burung di atas, Jean,” tunjuk Karel ke langit. “Dengan kamera kau bisa membuat gambar yang sangat mirip dengan burung-burung itu. Dengan kata lain kau tak perlu kuas, cat minyak, kanvas, atau waktu yang lama untuk menciptakan sebuah gambar yang sempurna, Jean. Paham?”

Kali ini Jean mengangguk . . . tanda setengah paham.

“Baiklah, ayo lanjut lagi, Jean.”

Lalu sepanjang jalan, perhatian Jean tertuju pada objek-objek yang dilihatnya. Bus tingkat yang berhenti tepat di hadapannya saat menyeberangi jalan melalui zebra cross, orang yang tertidur di halte bus, telfon umum, kotak pos, orang gila yang mengacak-acak bak sampah, hingga Karel, yang sedang menghitung uang hasil mengemisnya seharian. Dia melihat semuanya sambil menirukan gaya kakek tadi saat memotret.

“Jean? Apa yang kau lakukan?” tanya Karel heran dengan tingkah aneh Jean.

Masih dengan gaya memotretnya, Jean menjawab,”Aku ingin kamera. Sepertinya sangat menyenangkan. Lihatlah itu, itu, dan itu.”

 Karel berhenti berjalan,“Jean, itu tidak mungkin. Benda itu mahal sekali. Uang hasil yang kita dapatkan selama setahun pun mungkin tidak akan cukup untuk membelinya.”

Mendengar perkataan Karel, Jean menjadi kehilangan semangat. Dia berhenti memperagakan gaya kakek fotografer lagi. Dia menunduk dan tampak murung.

“Jangan sedih Jean,” Karel menepuk pundak Jean. “Kau lupa, bukankah aku bisa menggambar. Akan kugambarkan apapun yang kau inginkan. Kau tinggal mengingat objeknya lalu ceritakan detailnya padaku.”

“Benarkah?” Jean menatap Karel penuh harapan.

Karel mengangguk.

Sejak saat itulah, Karel selalu menggambar untuk Jean. Menjadi pengganti atas harapan Jean yang rapuh. Harapan yang tidak dengan mudah dapat dicapai oleh bocah miskin seperti mereka. Harapan yang lebih dekat dengan mimpi, bukan kenyataan.

***

“Kami pulang,” Karel melepas sepatunya dan masuk ke sebuah rumah yang cukup kecil, yang tidak lain adalah rumah Wena, ibu asuh mereka. Wajah Karel tidak tampak resah ataupun ketakutan meskipun ia tahu uang hasil mengemisnya hari ini tidak cukup banyak untuk membuat omelan dan sedikit tamparan dari Wena terkunci untuk beberapa waktu. Beda dengan Jean. Ia sangat ketakutan.

“Hei Jean, ayolah,” ajak Karel. “Kau cukup berdiri di belakangku saja, tidak perlu takut.”

Perlahan Jean melepas sepatunya, dengan wajah ketakutan dia mendekat dan mengikuti Karel dari belakang.
Belum sampai ke dalam rumah, mereka sudah di sambut oleh seorang wanita gemuk yang memiliki tattoo bergambar pistol di lengan kirinya, dengan tatapan yang menyeramkan dan . . . sangat memuakkan.

“Hei, bocah tengik, mana setoran hari ini!” Bentak Wena sambil meniupkan asap rokok ke wajah Karel.
Tanpa ekspresi Karel menyerahkan uang yang ada pada kaleng milik mereka,”hari ini sangat sepi, jadi hanya ini yang kami dapatkan.”

Sambil mengisap rokok, Wena menghitung uang yang diserahkan Karel. Matanya tampak sangat serius menghitung. Satu, dua, tiga, empat . . . , lima belas Lupin? Wena berhenti menghitung, pandangannya beralih pada mereka berdua. Genggaman Jean pada baju Karel semakin erat, dan wajah Karel tampak mencoba untuk tidak takut. Dia berusaha berani untuk melindungi Jean.

PLAK! Tamparan yang cukup keras mengenai pipi Karel.

“Bodoh! Apa yang kalian lakukan seharian ini, idiot?!” bentak Wena.

Karel diam saja. Namun, Jean semakin ketakutan dan mulai menangis.

“Hari ini kalian tidak bisa tidur di kamar! Tidurlah di luar, idiot!” lanjut Wena sambil menuding mereka.”Oh, ya. Untuk makan malam, kalian tidak dapat jatah malam ini!”

Lalu Wena mengusir keluar mereka berdua.

Di luar rumah Jean terisak sambil merangkul tangan Karel. Dia benar-benar takut ketika Wena memarahi mereka berdua, terutama Karel. Dia tidak pernah kuat melihat Karel diperlakukan sangat kasar oleh Wena. Pernah, pada suatu sore, ketika mereka berdua menghadap Wena untuk menyerahkan uang hasil mengemis, Karel ditampar hingga mimisan. Dan saat Jean melihat itu semua, hingga tengah malam, dia tidak dapat berhenti menangis.

Jean merasa bahwa dia selalu menjadi beban untuk Karel. Dia merasa sangat lemah hingga Karel pun perlu melindunginya. Jean pernah mencoba untuk sedikit berani, dengan harapan Karel tidak lagi mendapat perlakuan kasar dari Wena. Namun, setiap Jean mencoba, rasa takut selalu mengalahkannya.

“Hei, sudahlah Jean.” Karel melepaskan rangkulan Jean dari tangannya. Dia memegang kedua pundak Jean dan berkata,”aku tidak apa-apa.”

Jean tetap menangis di hadapan Karel. Dia menunduk supaya tidak tampak bahwa ia menangis. Jelas itu gagal, sebab suara tangisan Jean jauh lebih jelas. Karel tersenyum dan menyuruh Jean untuk menatap wajahnya. Jean hanya menggeleng tidak mau. Karena tahu dia malu, Karel pun memegang kepala Jean dan menggerakannya hingga tatapan mereka saling bertemu.

“Berhentilah menangis, Jean.” Karel tersenyum lebar. Kemudian dia mengusap air mata Jean. “Karena terlalu jauh untuk ke tempat itu, kita pergi ke taman saja, Jean. Akan kugambarkan sesuatu.”

Dalam keadaan masih sesenggukan, Jean berkata,”benarkah?”

“Ya,” Karel mengangguk dan menggandeng tangan Jean. “Ayo.”

Mereka pun, berdua meninggalkan rumah. Jean berhenti menangis dan mengusap air matanya. Dia tersenyum. Lalu menggenggam lebih erat tangan Karel

“Karel, maaf . . .”

“Ya.”

***

Di taman kota Child Root, diterangi lampu taman, di bawah pohon pinus, dan disaksikan oleh bintang—yang entah berapa banyak berhamburan di langit, dua anak sedang bertahan dari kedinginan dan rasa lapar. Karel yang duduk di atas bangku taman sedang sibuk dengan pensil dan sketchbook yang ia beli dengan uang patungannya bersama Jean. Lalu datanglah Jean yang entah darimana sedang membawa kantong berisi sesuatu.

“Darimana kau, Jean?” Karel menengok ke arah Jean.

Jean duduk di samping Karel lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong yang dia bawa,”Aku membeli roti untuk kita. Meski hanya ada dua potong, mungkin cukup untuk menahan rasa lapar kita malam ini. Makanlah.”

Karel meletakan pensilnya,”kau beli dengan uang siapa?”

“Dengan uang hasil kita tadi siang. Maaf, aku mengambilnya tiga Lupin. Karena kupikir uang itu mungkin akan bermanfaat.”

“Oh,” Karel lalu mengambil roti yang di tawarkan Jean. Mereka berdua kemudian makan bersama. Sesekali Jean iseng melihat wajah Karel ketika makan. Sangat lahap dan berantakan. Jean tertawa kecil. Menyadari akan tingkah Jean, Karel lalu melirik ke arahnya.”Ada apa, Jean?”

“Kau terlalu lahap. Lihatlah pipimu, berantakan.” Jean menyentuh pipi Karel. Dibersihkannya serpihan-serpihan roti yang menempel pada pipi Karel.

“Oh ya, lihatlah ini, Jean.” Karel menunjukkan hasil gambarannya. “Wajah Wena ketika marah. Kutambah sepasang tanduk setan di kepalanya. Haha, sangat cocok.”

Jean meringis.

“Dan ini, saat kau menangis. Murung, tampak seperti marmut menahan kentut.” Ledek Karel.

Jean cemberut.

“Dan yang ini,” Karel membuka halaman sketchbook selanjutnya. “Gambarmu bersama kamera idamanmu, Jean. Meskipun di dunia nyata kau tak pernah memilikinya, setidaknya di gambar ini kau terlihat keren dengan kamera idamanmu.”
Jean tersenyum.

“Jean?”

“Ya?”

“Mungkin suatu saat, kita akan mendapatkan uang yang cukup untuk membeli kamera idamanmu. Ya, suatu saat.”

Jean menatap langit dan menjawab,”tidak perlu, Rel.”

Tatap Karel, heran.

“Mungkin aku tidak perlu kamera itu lagi,” Pandangan Jean beralih pada Karel.”Karena, aku telah memiliki sesuatu yang lebih dari itu. Kebersamaan kita. Rasa saling melengkapi kita. Dan, keberanianmu yang selalu membuatku merasa aman dari segala seuatu yang menakutiku.”

Jean tersenyum menatap Karel. Dan Karel pun membalas senyuman itu . . . dengan menjitak kepala Jean.

Saat itulah mereka berdua menyadari bahwa mereka telah memiliki sesuatu yang lebih berharga. Yang mungkin tidak akan bisa membuat sebuah jiplakan yang sangat mirip dengan apa yang mereka lihat. Yang mungkin tidak semahal benda-benda mewah yang ada. Namun, dengan apa yang mereka miliki saat ini setidaknya dapat menyulap kepedihan mereka menjadi suatu hal yang sedikit lebih indah. Dan itu cukup untuk membuat mereka tertawa bersama.

Di taman kota Child Root, diterangi lampu taman, di bawah pohon pinus, dan di atas bangku, dua anak sedang memandangi bulan yang menjadi saksi perjuangan hidup mereka. Apakah akan tiba hari dimana mereka akan bahagia . . . berdua?

“Karel. Kita tidur di mana?”

“Benar juga, aku lupa memikirkannya.”

Krik krik krik.

0 komentar:

Mari Dikomeng